Salah satu tugas penulis adalah membuat Surat Perjalanan Dinas (SPD) bagi siapapun pegawai yang akan melakukan perjalanan dinas. Beberapa minggu yang lalu penulis melaksanakan tugas tersebut. Seperti biasa penulis memulai dengan membuat surat tugas dan kemudian membuat SPD tersebut. Beberapa minggu kemudian ada seorang petugas IT yang meminta dokumen SPD tersebut. Setelah penulis mencarinya ternyata SPD tersebut tidak ada.
Satu minggu kemudian ternyata SPD tersebut terselip di salah satu tumpukan file dekat meja penulis. Pertanyaannya adalah “Apakah setelah penulis selesai membuat SPD tersebut sudah menyelesaikan tanggung jawab tugas? Lalu bagaimana dengan tidak ditemukannya dokumen SPD tersebut?”
Dalam pasal 2 undang-undang nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara atau yang sering disebut dengan undang-undang ASN tercantum asas penyelenggaraan kebijakan dan Manajemen ASN. Salah satunya adalah akuntabilitas.
Akuntabilitas berbeda dengan responsibilitas. Jika responsibilitas adalah kewajiban untuk bertangung jawab maka akuntabilitas adalah kewajiban untuk mempertanggung jawabkan. Setiap pekerjaan yang dilaksanakan dengan akuntabel maka sudah pasti di sana terkandung nilai responsibilitas. Namun tidak setiap pekerjaan yang selesai dengan responsibel terkandung nilai akuntabilitas.
siapa saja yang harus mempunyai nilai akuntabilitas? Jawabannya adalah individu dan institusi. Akuntabilitas individu dalam sebuah institusi memegang peranan penting dalam menentukan sejauh mana sebuah institusi bisa menyandang predikat akuntabel. satu pekerjaan saja dalam sebuah institusi yang tidak dilaksanakan secara akuntabel, secara “kasat mata” bisa saja terlihat akuntabel namun secara “hakikat” institusi tersebut bisa dikatakan cacat nilai akuntabilitasnya.
Setiap individu selain wajib bertanggung jawab terhadap tugas-tugasnya ia juga wajib mempertanggung jawabkan tugas-tugas yang telah diselesaikannya terhadap dirinya sendiri, atasan, institusi maupun masyarakat. Dan tentu saja kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Berbeda dengan individu, kewajiban sebuah institusi dalam mempertanggung jawabkan tugas pokok dan fungsinya adalah terhadap instansi yang lebih tinggi atau instansi lain yang ditentukan oeh undang-undang. Dan tentunya kepada masyarakat.
Akuntabilitas bukan hanya persoalan etik yang mengedepankan “baik” atau “buruk”. Akuntabilitas lebih jauh dari itu. Ia bisa dipandang sebagai “etik” tatkala berhadapan dengan masyarakat dan atau dirinya sendiri, bisa pula dipandang sebagai “benar” atau “salah” jika terkait dengan aturan hukum.
Sebagai contoh, seorang pegawai yang sedang mengalami badai dahsyat dalam kehidupan rumah tangganya ia bermuka masam ketika melayani masyarakat terkait keperluannya. Tindakan dia melayani masyarakt tersebut tidaklah cacat secara legal, namun secara etik bisa dikatakan buruk.
Kenapa demikian? Karena ia tidak mampu menuntaskan pertarungan kepentingan (conflict of interest) di dalam batinnya. Sehingga ia mencampur adukan antara persoalan pribadinya dengan tugas pekerjaan. Dalam hal ini yang ditekankan adalah konflik kepentingannya. Lain halnya apabila yang ditekankan adalah persoalan ekspresi muka masam, maka hal itu adalah ranah “etika publik”. Dengan demikian, maka cacat akuntabilitas sangat memungkinkan terjadinya kehilangan etika dalam pelaksanaan tugas.
Terkait dengan aspek legalitas, maka tak perlu kiranya penulis menerangkannya secara panjang lebar, karena diyakini semua orang sudah paham bahwa cacat akuntabilitas dalam hal ini bisa menimbulkan perbuatan melawan hukum (Wederrechtelijk) baik berupa pelanggaran maupun kejahatan.
Mahkamah Agung sendiri pada dasarnya telah menerapkan nilai akuntabilitas. Dalam Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung RI 2010-2035 (4 tahun lebih awal dari UU ASN) terdapat Nilai-Nilai Utama Badan Peradilan yang salah satunya adalah nilai akuntabilitas. Dalam prakteknya, Mahkamah Agung sering melakukan pengawasan internal di bawah koordinasi Badan Pengawas yang secara berkala melakukan pengawasan ke lingkungan peradilan yang berada di bawahnya.
Selain Badan Pengawas, Mahkamah agung juga mendelegasikan pengawasan tersebut kepada Pengadilan Tingkat Banding untuk melakukan pengawasan ke semua Pengadilan Tingkat Pertama yang berada di wilayah hukumnya. Bahkan di Pengadilan Tingkat Pertama sendiri ada Hakim Pengawas Bidang yang secara rutin memeriksa pekerjaan baik di kepaniteraan maupun kesekretariatan. Pengawasan internal baik yang dilakukan oleh Badan Pengawas, Pengadilan Tingkat Banding maupun Hakim Pengawas Bidang adalah salah satu bentuk kecil dari praktek nilai akuntabilitas. Hal yang paling penting dalam menerapkan nilai akuntabilitas adalah yang tumbuh dari kesadaran masing-masing individu.
Menurut penulis, adalah omong kosong apabila sebuah institusi bertekad ingin menjadi institusi yang berwibawa dan dipercaya oleh masyarakat sedangkan nilai akuntabilitas diabaikan. Bukankah agama juga mengajarkan bahwa setiap apa yang kita lakukan di dunia ini kelak akan dimintai pertanggung jawaban?. Lalu apakah penulis sudah mampu mengamalkan nilai akuntabilitas dalam melaksanakan tugas? Pengalaman penulis di awal tulisan ini adalah jawabannya.