Bayangkan jika anda mencintai seseorang sejak 3 tahun yang lalu. Anda belum pernah mengatakan cinta kepadanya karena belum ada kesempatan untuk mengenalnya.Selama tiga tahun anda pendam cinta itu. Anda hanya bisa melihatnya setiap hari ketika berpapasan di sebuah tangga gedung. Dengan perasaan “dag dig dug” anda menatapnya, dan jika ia balas menatap, anda tertunduk malu.
Anda banyak tau tentang dia karena ia adalah pujaan hati, anda hanya mengenalnya lewat status dan foto-foto facebooknya. Anda hanya bisa berbincang lewat mimpi yang ketika sadar dada menjadi sesak. Hanya dia yang ada dalam pikiran anda ketika hendak tidur mauapun bangun pagi. Seminggu yang lalu anda mulai mengenalnya, anda mulai menelpon, SMS dan BBM. Akhirnya anda sanggup mengungkapkan cinta yang selama tiga tahun anda pendam dengan jawaban “iya”.
Satu hari anda merasakan bunga-bunga cinta, tadi malam dia menelpon anda dan menyatakan “maaf aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini”. Seakan tidak percaya akan perkataannya anda semalam suntuk tidak bisa tidur, dan ingin malam secepatnya berlalu dengan harapan esoknya anda akan menjelaskan segala sesuatunya.
Esok harinya anda melihat dia bergandengan tangan dengan orang lain yang segalanya lebih dari anda.
Apa yang anda rasakan? Kecewa, marah, putus asa, sedih dan sejuta rasa lainnya yang membuat dada bergejolak, sesak dan seakan-akan akan menumpahkan sesuatu yang tidak tahu entah apa itu. Tanpa diperintah mata mengeluarkan airnya, pipi mulai membasah.
Beberapa waktu lalu Pengadilan Agama Masohi menerima surat dari Mahkamah Agung tentang adanya kompetisi inovasi menyangkut pelayanan publik. Sontak saja pimpinan mengumpulkan orang-orang yang dianggap kompeten di bidang ini, membentuk tim dan memerintahkan untuk menyiapkan segalanya.
Tim harus begadang demi meraih prestasi ini, mulai dari pembuatan video, editing hingga tata suara dikerjakan sebaik dan semaksimal mungkin. Bahkan ada satu adegan dimana seluruh pegawai harus tampil mempesona dan mengucapkan semacam greeting untuk meyakinkan masyarakat bahwa PA Masohi siap dalam melayani publik dengan ramah dan akuntabel.
Ketika Mahkamah Agung mengumumkan hasil kompetisi ini, PA Masohi tidak termasuk sepuluh besar. Penulis sebagai salah satu orang yang berharap akan prestasi ini, walaupun tidak masuk secara tim sangat kecewa.
Kecewa adalah berkurangnya harapan yang biasanya diakibatkan oleh harapan yang besar terhadap hasil dari proses yang melelahkan, namun kenyataannya hasil tidak sesuai dengan harapan itu.
Semakin tinggi harapan, proses yang melelahkan dan hasil yang kita dapatkan tidak sesuai, semakin tinggi pula rasa kecewa itu. Itulah hukum kecewa. Maka hukum kegembiraan dalam kesuksesan berbanding terbalik dengan hukum kecewa.
Satu virus yang bernama kecewa jika dibiarkan berkembang biak akan menimbulkan penyakit-penyakit psikologis seperti sedih, berkurangnya gairah hidup (bad mood), depresi hingga stress atau mungkin juga berkurangnya syahwat “gituan”.
Secara teologis kecewa juga bisa menimbulkan berbagai penyakit iman, tentunya yang paling berbahaya adalah tidak percaya kasih sayang Tuhan bahkan bisa sampai memaki-maki Tuhan.
Kecewa satu strip lebih rendah dibanding putus asa, jika putus asa adalah hilangnya harapan maka kecewa adalah berkurangnya harapan, nuqshan al-roja jika meminjam istilah Ibnu ‘Atha’illah.
Kekecewaan pada dasarnya efek dari paradigma bahwa hasil adalah tujuan akhir dari kerja keras. “Hasil tak pernah menghianati proses” begitulah salah satu kawan penulis pernah mengungkapkannya.
Sebagai manusia kita sering mengagungkan hukum sebab akibat (kausalitas), “jika anda kerja keras anda pasti sukses”. Akibat selalu dan pasti dipengaruhi oleh sebab.
Penulis meyakini bahwa hukum sebab akibat adalah sunnatullah, namun kita sering lupa bahwa satu sebab bisa menimbulkan bermacam-macam akibat. Akibat atau hasil yang tidak kita harapkan inilah yang menjadi sumber kekecewaan.
Apakah akibat yang tidak kita harapkan itu tidak bernilai sama sekali bagi kita? Jawaban penulis tentu saja tidak. Karena apabila mencermati proses yang telah dilalui maka disanalah kita akan menemukan hal-hal baik yang mungkin tak pernah kita sadari, bahkan bisa jadi itu lebih baik dari hasil yang kita harapkan.
Bukankah apabila ada hal buruk yang menimpa, manusia diperintahkan oleh Tuhan untuk berserah diri, bahwa sesungguhnya kita adalah milik Tuhan dan kepada Tuhanlah kita akan kembali. Penulis meyakini ajaran ini tidak hanya ada dalam Islam saja melainkan semua agama, setidaknya dalam agama-agama samawi.
Bahkan dalam ajaran Budhisme yang notabene bukan agama samawi mengenal ajaran Dukkha Nirodha Ariya Sacca (Kebenaran Ariya tentang terhentinya Dukkha)
Sedangkan Madzhab filsafat yang selaras dengan bagaimana seseorang “mengelola” kekecewaan adalah stoicisme yang berkembang di Yunani sekitar 108 tahun sebelum Masehi. Salah satu pokok pikiran dari stoicisme adalah “ajeg” dalam menanggung segala bentuk penderitaan dengan tujuan mencapai tingkat kebahagiaan yang hakiki yang bersumber dari Tuhan.
Level kebijaksanaan tertinggi dalam stoicisme adalah berdiri tegak di hadapan ombak yang deras. Dalam artian seseorang yang memiliki kebijaksanaan perasaannya tak terpengaruh oleh hal ihwal yang terjadi di sekelilingnya.
Berhadapan dengan orang yang “stoic” seperti melawan bayangan semu, apapun yang anda perbuat untuknya tak akan mempengaruhi perasaannya, sampai akhirnya si lawan yang akan kelelahan sendiri.
Jika ada hal buruk yang menimpa dirinya ia tidak merasa kecewa dan jika ada hal baik yang menimpa, ia tidak pongah. Karena dalam pandangannya hal baik dan hal buruk sama saja berasal dari satu sumber, yaitu Tuhan.