Sejarah Pengadilan
SEJARAH PEMBENTUKAN PROVINSI MALUKU
Maluku merupakan salah satu Provinsi tertua dalam sejarah Indonesia merdeka. Daerah ini dinyatakan sebagai Provinsi bersama tujuh daerah lainnya – Kalimantan, Sunda Kecil, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Sumatera – hanya dua hari setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya 17 Agustus 1945, yaitu tepatnya tanggal 19 Agustus 1945.
Provinsi Maluku dengan Ibu Kota Ambon mempunyai latar belakang sejarah yang panjang dan unik. Provinsi yang terkenal dengan seribu pulau yang terletak antara pulau Sulawesi disebelah barat dan puluai Irian (Papua) di sebelah timur.
Perjalanan sejarah terbentuk dan berkembangnya Provinsi Maluku dapat di gambarkan dalam 4 masa:
1. Masa Sebelum Penjajahan
Seperti daerah-daerah lainnya di Indonesia, kepulaun Maluku telah dihuni manusia sejak zaman prasejarah. Ciri-ciri fisik penduduk asli Maluku mirip dengan suku-suku bangsa asli Indonesia lainnya yang berasal dari percampuran antara bangsa Wedoid dan Negroid.
Sejak masuknya agama Islam ke Maluku - melalui pedagang dari Aceh, Malaka dan Gresik - sebelum abad ke 15 dan 16, di Maluku mulai mengenal kesatuan masyarakat dengan struktur dan sistem pemerintahan yang teratur, yang kemudian berkembang menjadi kesatuan - kesatuan politik yang berdaulat penuh dan masing – masing selalu berusaha menyebarluaskan pengaruh dan wilayah kekuasaannya. Pusat penyebarannya di Hitu, Tidore,Ternate dan Kepulauan Banda
Di Maluku Utara dijumpai kerajaan – kerajaan dengan sistem pemerintahan yang bersifat sentralistis. Ada 4 (empat) kerajaan yang terkenal yaitu, Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. Kepala pemerintahan bergelar ”Kolano” dan kerajaannya disebut “Boldan”. Istilah “Maloko” (Maluku) juga disandang oleh kerajaan – kerajaan tersebut yang artinya “Penguasa Dunia”. Dengan demikian dikenal nama tradisionalnya sebagai : Maloko Boldan Ternate, Maloko Boldan Tidore, Maloko Boldan Bacan dan Maloko Boldan Jailolo. Keempat kerajaan tersebut membentuk pula suatu konfederasi yang disebut sebagai “Maloko Kie Raha” (Kerajaan Empat Penguasa). Sebutan “Sultan” dan “Kesultanan” dipakai untuk mengganti sebutan “Kolono” dan “Boldan” setelah kerajaan – kerajaan ini menganut agama dan budaya Islam yang kemungkinan muncul pada abad ke – 14. Di Maluku Tengah dan Maluku Tenggara terdapat Republik – Republik Desa (Dorps Republieken) yang pemerintahannya bersifat “otonom” dan “patrimonial”. Dikenal pula dengan sebutan “Negeri” dan kepala pemerintahannya disebut dengan istilah “Raja” (Regent), “Patti) atau “orang kaya”. Negeri – negeri ini mempunyai wilayah kekuasaan yang secara hukum adat dikenal sebagai “Petuanan Negeri”.
Negeri-negeri itu dalam perkembangannya kemudian membentuk lagi perserikatan-perserikatan yang lebih besar dan terkenal dengan nama “Uli” sejak dulu dikenal dua uli yakni “Uli Lima (Persekutuan Lima Negeri)” dan “Uli Siwa (Persekutuan Sembilan Negeri). Kedua bentuk uli ini dijumpai di Maluku Utara dengan sebutan Uli-Siwa dan Uli-Lima, di Maluku Tengah disebut Pata-Siwa dan Pata Lima, dan di Maluku Tenggara dikenal dengan nama Ur-Siwa dan lor-Lim.
Ketika bangsa Eropa datang ke Maluku, hampir seluruh penduduk Maluku sudah memeluk agama Islam.
2. Masa Penjajahan
Bangsa Eropa yang pertama menemukan Kepulauan Maluku adalah Portugis. Pada tahun 1512 Portugis masuk kepulauan Maluku. Pada tahun itu dua armada portugis di bawah pimpinan Anthoni d’Abreu dan Fransisco Serau, mendarat di pulau Banda dan Pulau Penyu, mereka menjalin persahabatan dengan penduduk dan raja-raja setempat yaitu Kerajaan Ternate, sehingga Portugis di beri izin untuk mendirikan benteng di Pikapoli, negeri Hitu Lama dan Mamala. Pada tahun 1521, Spanyol mendarat pula di kepulauan tersebut dan mendirikan benteng di Tidore.
Kehadiran bangsa Portugis dan Spanyol yang semula mengurus perdagangan rempah-rempah saja, ternyata menggiatkan usaha penyebaran agama Kristen. Hal ini membuat kegusaran penduduk yang semula sudah memeluk agama Islam, sehingga pada tahun 1530 persahabatan antara Kerajaan Ternate dengan Portugis berakhir.
Pada tahun 1570 Portugis diusir keluar dari wilayah ternate ke Ambon dan Tidore, yang kalah berperang melawan Kerajaan Ternate yang dipimpin oleh Sultan Babullah.
Perlawanan rakyat terhadap Portugis dimanfaatkan oleh Belanda untuk menjajakan kakinya di Kepulauan Maluku awal abad ke 17. Belanda membatu rakyat Maluku (Hitu) untuk berperang melawan Portugis, sehingga memaksa Portugis untuk menyerahkan pertahanannya di Ambon dan di Tidore.
Sejak saat itu Belanda menguasai sebagian wilayah Maluku, demi kepentingan perdagangan rempah-rempah (cengkeh dan pala) serta memonopoli perdagangan itu.
Untuk memperkuat kedudukannya. Belanda membangun (membentuk) 3 (tiga) macam administrasi pemerintahan :
Pertama : Gouverment der Molukken yang dipimpin oleh seorang Gubernur, yang berkedudukan di Ternate. Berbeda dengan pengertian sekarang, “Molukken” pada masa VOC hanya mencakup Maluku Utara saja, ditambah dengan daerah ekspansi kerajaan Ternate di Sulawesi Utara saja dan daerah ekspansi kerajaan Tidore di Irian Jaya bagian utara.
Kedua : Gouverment Van Banda yang dipusatkan di Ambon dipusatkan di Maluku Tengah (Pulau Seram dan sekitarnya).
Ketiga : Gouverment Van Amboina yang mencakup kepulauan Banda, Kei, Aru, Tanimbar-Teon, Nila dan Serua.
Pada tahun 1817 Belanda mengatur kembali pemerintahannya di Maluku, dengan menggambungkan ketiga pemerintahan tersebut di atas menjadi Gouverment der Molukken yang berkedudukan di Ambon. Maka seluruh kepualuan yang terbentang antara Sulawesi dan irian Jaya dinyatakan dengan istilah tersebut, secara otomatis pusat pemerintahan bukan lagi di Ternate tetapi di Ambon yang selama dua abad tersebut menjadi pusat perdagangan cengke.
Dalam tahun 1865 terjadi pelbagai reorganisasi yaitu Residensi Ternate (Maluku Utara) dan Residensi Amboina yang menggabungkan Maluku Tengah dengan Maluku Tenggara/Barat Daya dipusatkan di Ambon. Masing-masing diperintah oleh seorang “Residen”.
Keresidenan Amboina membawahi 15 “Onder Afdeeling” dan Keresidenan Ternate membawahi 12 Onder Afdeeling. Masing-masing Onder Afdeeling diperintah oleh seorang “Asisten Residen”. Disamping itu terdapat pula “Staatsgemeente Amboina” yang diperintah oleh “Burgemeester”. Pada waktu itu terdapat pula satu dewan pemerintahan yaitu “Ambonraad” yang membawa suara dari para “Latupati” (Raja Patih) yang tergabung dalam “Regenten-Bond”.
Keadaam pemerintahan tersebut berlangsung hingga masuknya pemerintahn meliter Jepang. Pasukan meliter jepang masuk ke Daerah Maluku melalui Morotai di utara dan pulau Misool di timur, dalam waktu singkat seluruh kepulauan Maluku dikuasai oleh Jepang.
Pemerintahan Militer Jepang mengeluarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1942 tentang perubahan tata pemerintahan daerah, yaitu pemerintahan bersifat militer dan disesuaikan dengan kepentingan militer.
Pada Zaman kedudukan Jepang, daerah Maluku merupakan salah satu dari ke-empat wilayah pemerintahan di Indonesia bagian timur dengan pusatnya di kota Makassar, di masing-masing wilayah di kuasai oleh seorang Gubernur Militer. Daerah Indonesia bagian timur berada langsung dibawah komando Angkatan Laut Jepang (Kaigun).
Selama pendudukan Jepang tidak terdapat perubahan-perubahan penting di dalam tata pemerintahan. Pemerintahan bersifat militer atau disesuaikan dengan kepentingan militer. Pada waktu itu terdapat juga aparat-aparat pemerintah sipil yaitu Minseibu Chokan, semacam kepala daerah yang kedudukannya di Ambon, Tual dan Ternate. Namun dalam banyak hal kekuasaan pemerintahan sipil ini dibatasi atau tunduk kepada kekuasaan militer, sehingga wewenang pemerintahan sipil dibatasi atau tunduk kepada kekuasaan militer, bahkan wewenang pemerintahan sipil tidak ada sama sekali. Keadaan tersebut berlangsung hingga menyerahnya Jepang pada sekutu diwaktu perang dunia ke II pada tanggal 15 Agustus 1945.
3. Masa Kemerdekaan
Setelah Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 dan berdirinya Negara Republik Indonesia, maka secara de Jure daerah Maluku sudah termasuk wilayah Negara Republik Indonesia. Secara de Fakto daerah Maluku pada permulaannya belum dapat diduduki oleh pemerintah RI beserta aparatnya, karena setelah Jepang menyerah, pemerintah Belanda atau NICA (Nederlands Indies Civil Administration) sudah menduduki daerah Maluku dengan membonceng tentara Sekutu (Australia).
Pada tanggal 19 Agustus 1945 telah dibentuk pemerintahan Provinsi Maluku yang merupakan Provinsi kedelapan dari Negara RI yang berkedudukan di ibu kota Negara yaitu Jakarta. Pada saat itu di angkatlah Mr. Yohanes Latuharhary sebagai gubernur pertama Maluku, seorang tokoh pergerakan Nasional Indonesia asal Maluku.
Di daerah Maluku pemerintahan NICA yang telah masuk bersama tentara sekutu segera menjalankan kekuasaan pemerintahan masing-masing dengan seorang Chief Conica yang juga menjabat Residen untuk Maluku Utara dan Maluku Selatan.
Di Maluku Selatan Chief Conica merangkap juga sebagai Ketua Dewan Maluku Selatan. Dewan Maluku Utara di ketuai oleh Asisten Residen bukan seorang Residen.
Setelah di keluarkannya Undang-undang Negara Indonesia Timur Nomor 44 tahun 1950 mengenai pembinaan otonomi daerah, yang membagi 2 (dua) daerah yaitu daerah Maluku Utara dan daerah Maluku Selatan. Wilayah Maluku Selatan meliputi daerah Maluku Tengah dana Maluku ter-Selatan (Maluku Tenggara).
Sesudah pengakuan kedaulatan dan pembentukan negara Republik Indonesia Serikat (RIS) serta peleburannya pada tanggal 17 Agustus 1950 menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Maka dikeluarkan berbagai undang-undang dan peraturan yang mengatur status otonomi daerah Maluku.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 1952 dibentuklah Daerah Maluku Tengah dan Maluku Tenggara dijadikan daerah otonomi tingkat II. Dan wilayah daerah Ambon dibentuk dengan Undang-Undang No. 15 Tahun 1956.
Setahun kemudian dikeluarkan Undang-Undang Darurat No. 22 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat I Maluku, Undang-Undang darurat ini dikeluarkan sebagai pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, yang menentukan pusat pemerintahan daerah berkedudukan di Ambon. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dibentuk san terdiri dari 30 orang, sedangkan Dewan Pemerintahan Daerah beranggotakan 5 orang tidak terhitung kepala daerah, dengan dikeluarkannya Undang-Undang no. 20 Tahun 1958 yang menggantikan Undang-Undang Darurat No. 22 Tahun 1957 ditetapkan pembentukan Daerah Otonomi Tingkat I Maluku.
Disamping lembaga eksekutif terdapat pula lembaga legislatif yaitu DPRD yang terdiri dari DPRD Tingkat I Maluku dan 3 (tiga) DPRD Tingkat II dan Kotamadya Ambon. Disamping Jabatan Gubernur, terdapat Sekretaris Daerah. Untuk jabatan Wakil Gubernur belum di bentuk.
Pada waktu itu daerah Tingkat I Maluku mempunyai 4 daerah Tingkat II dan 1 Daerah administrative, yaitu :
- Daerah Tingkat II Maluku Utara, Ibu Kota Ternate
- Daerah Tingkat II Maluku Tengah, Ibu Kota Masohi
- Daerah Tingkat II Maluku Tenggara, Ibu Kota Tual
- Daerah Tingkat II Kotamadya Ambon
- Daerah Administratif Halmahera Tengah, Ibu Kota Soasiu.
Selanjutnya sesuia dengan perkembangan pemerintahan daerah, maka berdasarkan memorandum DPRD Tingkat I Maluku tertanggal 28 Agustus 1972 dan dikeluarkan Keputusan Gubernur Kepala Daerah Maluku tertanggal 7 Maret 1973 tentang pembentukan Daerah Koordinator pulau Buru dengan Ibu Kota Namlea.
4. Masa Reformasi
Sejak terjadinya reformasi pada tahun 1998, banyak wilayah administrative yang dimekarkan di setiap Provinsi tidak terkecuali Provinsi Maluku. Selain Provinsi yang di mekarkan tetapi masuk juga Kabupaten dan Kecamatan.
Dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 46 tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Maluku Utara dengan Ibu Kota Ternate, maka secara otomatis Provinsi Maluku sudah terbagi 2 (dua) Provinsi yaitu Provinsi Maluku Utara dan Provinsi Maluku itu sendiri.
Provinsi Maluku Utara membawahi 3 Kabupaten dan 1 Kota yaitu :
- Kota Ternate
- Kabupetan Soasio Halmahera Tengah.
- Kabupaten Tobelo Halmahera Utara.
- Kabupetan Bacan.
Untuk Provinsi Maluku membawahi 2 (dua) Kabupaten dan 1 Kota yaitu Kota Madya Ambon
- Kabupaten Maluku Tengah dengan Ibu Kota Masohi
- Kabupaten Maluku Tenggara dengan Ibu Kota Tual
Sampai dengan akhir tahun tahun 2008, dari 1 (satu) Kotamadya dan 2 (dua) Kabupaten tersebut, masing-masing dimekarkan 2 Kabupaten, sehingga terbentuk 1 Kotamadya dan 7 Kabupaten baru, yaitu :
- Kotamadya Tual
- Kabupaten Buru Ibu Kota Namlea
- Kapupaten Buru Selatan
- Kabupaten Seram Bagian Barat dengan Ibu Kota Piru
- Kabupaten Seram Bagian Timur dengan Ibu Kota Bula
- Kabupaten Maluku Tenggara Barat dengan Ibu Kota Saumlaki
- Kabupaten Kepulau Aru
- Kabupatan Maluku Barat Daya
Sehingga secara keseluruhan Provinsi Maluku sudah mempunyai 9 Kabupaten dan 2 Kota (Ambon dan Tual).
Untuk diketahui sejak berdirinya Provinsi Maluku sudah 11 Pimpinan Daerah Maluku / Gubernur Difinitif dan 1 charateker (Pejabat Sementara Gubernur).
SEJARAH PEMBENTUKAN KOTA MASOHI
Daerah Tingkat II Maluku Tengah dibentuk dengan Peraturan Pemerintah No 35 Tahun 1952 sebagai Daerah Otonom dengan pusat pemerintahan daerah sementara berada di Kota Ambon
Setelah selama kurang lebih dua tahun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan semangat rasa kebersamaan di antara Latupati, kesediaan yang tulus dari Pemerintah Desa dan masyarakat di wilayah Seram Selatan terutama masyarakat Amahai, Haruru dan sekitarnya maka ditetapkanlah lokasi ibukota pada tempatnya yang ada saat ini.
Pada tanggal 25 November 1955 Menteri Dalam Negeri Mr. SUNARYO dan Gubernur Maluku S.M. DJOSAN mengunjungi lokasi cikal bakal ibukota Maluku Tengah. Awal pembangunan ibukota Kabupaten Maluku Tengah ialah peletakan batu pertama pada tanggal 3 November 1957 oleh Presiden RI Ir. SOEKARNO sekaligus memberi nama ibukota Kabupaten Maluku Tengah “MASOHI”, artinya “Gotong Royong”.
Setelah peletakan batu pertama, pembangunan kota Masohi terus berlangsung dengan motto “Jangan Jemu Mendaki Kalau mau Ke Puncak Cita”. Semangat pembangunan ibukota yang menurut Bupati pertama ABDULLAH SOULISA saat memberikan laporan kepada Presiden RI Ir. SOEKARNO dalam kunjungan beliau yang ke-dua di Masohi tanggal 19 Juni 1959 bahwa pembangunan ibu kota diletakkan dalam tempo yang sangat tinggi, walaupun tidak didukung material yang memadai di samping momok birokrasi dan kekurangan dana merupakan hambatan utama dalam pembangunan ibukota, namun karena sifat hakiki dari semangat pembangunan adalah “semangat pionir” maka semangat pembangunan kota Masohi tetap berjalan.
Dengan Surat Keputusan Dewan Pemerintah Daerah Maluku tanggal 25 Juli 1959 no 38/DPD/D ditetapkan terhitung tanggal 17 Agustus 1959 memindahkan tempat kedudukan Pemerintah Daerah Maluku Tengah dari Ambon ke Masohi ditandai dengan penanaman pohon beringin di lapangan Nusantara oleh Panglima Militer Maluku dan Irian Barat Letkol. H. PIETERSZ. Dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 23 Desember 1959 No 52/12/5-207 ditetapkan Masohi sebagai ibukota Kabupaten Maluku Tengah.
SEJARAH PEMBENTUKAN PENGADILAN AGAMA MASOHI
Sebelum abad ke 15 dan 16 budaya Islam dan budaya Eropa sudah masuk ke wilayah Maluku dan Maluku Utara, sudah ada kesatuan-kesatuan masyarakat dengan struktur dan sistem pemerintahan – kerajaan Islam - yang teratur dan sampai saat ini setiap Desa dikepalai oleh seorang raja.
Sejak zaman penjajahan belanda (Belanda datang ke Indonesia pada tahun 1596 tepatnya di Maluku), sudah ada badan yang melaksanakan tugas peradilan agama dengan istilah Hakim Syara’, yang termasuk dalam bagian Peradilan Swapraja dan Adat.
Dengan dikeluarkannya Undang-undang Darurat nomor 1 Tahun 1951 maka dihapuslah sistem peradilan swapraja dan adat, maka apabila ada sengketa yang berkaitan dengan syari’at Islam diselesaikan melalui Kantor Urusan Agama melalui hakim-hakim yang telah ditunjuk di setiap kecamatan.
Pada tahun 1957 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah nomor 45 tahun 1957 tentang pembentukan pengadilan agama / mahkamah syari’ah di Luar Jawa dan Madura, maka semua sengketa yang diselesaikan melalui Kantor Urusan Agama yang berada di kecamatan melalui para hakim yang ditunjuk dinyatakan bubar.
Untuk menindaklanjuti Peraturan Pemerintah nomor 45 tahun 1957, untuk wilayah Maluku telah ditetapkan surat Keputusan Menteri Agama tentang pembentukan Pengadilan Agama di setiap kabupaten yang berada di provinsi Maluku yaitu :
- Penetapan Menteri Agama Nomor : 5 tahun 1958 tanggal 6 Maret 1958 tentang berdirinya Pengadilan Agama Ambon, Ternate, Morotai dan Soasiu.
- Keputusan Menteri Agama Nomor : 23 tahun 1960 tanggal 14 Nopember 1960 berdirinya Pengadilan Agama Tual Maluku Tenggara Barat.
- Keputusan Menteri Agama Nomor : 87 tahun 1966 tanggal 3 Desember 1966 berdirinya Pengadilan Agama Masohi di Maluku tengah.
- Keputusan Menteri Agama Nomor : 87 tahun 1966 berdirinya Pengadilan Agama Labuha.
Setelah terbentuknya badan peradilan agama di wilayah Maluku, dalam perkembangan selanjutnya dibentuklah Pengadilan Tinggi Agama untuk wilayah Indonesia Bagian Timur yang meliputi Provinsi-Provinsi Daerah tingkat I Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Irian Jaya dengan hanya 1 (satu) Pengadilan Tinggi Agama yang berkedudukan di Ujung Pandang.
Dengan dikeluarkan surat Keputusan Menteri Agama RI Nomor 95 tahun 1982 tanggal 28 Oktober 1982 tentang pembentukan 5 (lima) pengadilan Tinggi Agama Cabang, diantaranya Pengadilan Tinggi Agama Cabang Ambon, maka berarti mulai terbentuk Pengadilan Tinggi Agama Cabang Ambon mewilyahi 7 Pengadilan Agama di 7 Kabupaten/Kota yang meliputi:
- Pengadilan Agama Ambon, berada di Ibu Kota Provinsi Maluku.
- Pengadilan Agama Tual, berada di Ibu Kota Kabupetan Maluku Tenggara.
- Pengadilan Agama Masohi, berada di Ibu Kota Kabupetan Maluku Tengah.
- Pengadilan Agama Ternate, berada di Ibu Kota Kabupaten Maluku Utara.
- Pengadilan Agama Soasiu, berada di Ibu Kota Kabupetan Halmahera Tengah.
- Pengadilan Agama Morotai, berada di Tobelo, Ibu Kota Kabupaten Halmahera Utara.
- Pengadilan Agama Labuha, berada di Ibu Kota Kabupetan Halmahera Selatan.
Dalam era reformasi pada tahun 1998 dan dibentuknya peraturan tentang otonomi daerah (Undang-undang No.22 Tahun 1999), maka terjadilah beberapa pemekaran daerah, baik itu Daerah Tk.I Provinsi, Kabupaten maupun Kecamatan, salah satunya pembentukan Kabupaten Maluku Utara menjadi Ibu Kota Provinsi Maluku Utara (Undang-Undang No.46 tahun 1999), maka terjadilah pemisahan dari Provinsi Maluku.
Dengan adanya Reformasi khususnya di bidang ketatanegaraan lembaga peradilan telah mengalami perubahan yang sangat signifikan, yakni adanya penyatuatapan terhadap terhadap lembaga peradilan (one roof system) dibawah Mahkamah Agung RI yang dimulai dengan adanya amandemen ketiga Undang-undang dasar 1945 dengan dimasukkanya pasal 24 ayat (2) UUD 1945: ”Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan Agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”, sehingga pada tahun 2005 terbentuklah pengadilan Tinggi Agama Maluku Utara yang mewilayahi 4 Pengadilan Agama, yaitu Pengadilan Agama Ternate, Pengadilan Agama Soasiu, Pengadilan Agama Labuha dan Pengadilan Agama Morotai.
Sejak saat itu, secara otomatis wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama Ambon yang berada di Provinsi Maluku hanya mewilayahi 3 Pengadilan Agama yaitu :
- Pengadilan Agama Ambon Kelas I A di Ibu Kota Provinsi Maluku
- Pengadilan Agama Masohi kelas II di Kabupaten Maluku Tengah
- Pengadilan Agama Tual Kelas II di Kabupaten Maluku Tenggara.
Dari paparan sejarah tersebut, jelas bahwa Pengadilan Agama Masohi yang secara de yure telah eksis sejak tahun 1966, namun secara de facto Pengadilan Agama Masohi baru berperan pada tanggal 1 September 1976, dengan dipimpin oleh ketua Pengadilan Agama Masohi yang pertama, yaitu Busyro Alkarim, B.A. yang menjabat sejak tahun 1976 sampai dengan tahun 1981.